Sunday, January 23, 2011

Tepi Samudra Sanubari

[Pedesaan "banarawa" telah dilalui oleh Bima. Makin kuat dan terasa aroma lautan. Gemerciknya riak tenang tepi pantai lagi menjelang siang, semakin menambah gairah hati Sang Bima. Akhirnya sampailah dia di tepi lautan. Menjadi serba ragu Bima, sehingga hanya berdiri mematung bagai "arca berhias". Berdiri termangu memendam keraguan. Sebentar mendongak, sebentar menunduk sembari menarik dan melepas napas-napas panjang.
 
Serba ragu melihat gerakan mengalun ombak samudra yang bergunung-gunung. Akan tetapi alunan ombak itu seberti lambaian Sang Guru Druna]

"Hmmm... begini akibatnya jadi orang serba terburu, terlanjur sanggup. Beginilah nasib orang yang meninggalkan perhitungan dan nalar. Sungguh serba canggung jadi orang yang 'ambisius'. Di tepi lautan yang tanpa batas pandang begini, apalah arti Bimasena? Kemana semua kekuatan dan kesanggupanku? Kemana keteguhan hatiku? Apakah aku tidak akan dapat apa-apa? Apa nilai yang tersisa padaku bila kembali ke istana tanpa hasil?"

[Tiga burung, Patuk Bawang, Engkuk dan Gemak, terbang dan hinggap, meloncat-loncat di ranting pepohonan Bakau dekat Bima berdiri, berkicauan seolah memperbincangkan si Bima. Dari kejauhan sebelah tenggara, terdengar Kicauan burung Rijal dan Tadah Asih, seolah menyambut akan lepasnya nyawa Sang Bima yang bunuh diri mencebur lautan. Sambutan yang menistakan kematian seorang ksatria. Ksatria yang berlaku tulus, jujur dan ikhlas, mengapa harus bunuh diri mencebur lautan. Mencebur lautan karena suatu keinginan yang belum jelas kebenarannya. Mencapai kesempurnaan hidup].

"Adi Gemak, kenapa Adi sejak pagi tadi hanya meloncat-loncat kebingungan, tidak seperti biasanya?"

"Benar katamu, Kakang Patuk Bawang, Adi Gemak terlihat lain dari biasanya sejak fajar menyingsing tadi. Ada apa Adi?"

"Wahai, kedua Saudara, Kakang Patuk dan Kakang Engkuk, semalam aku bermimpi sangat aneh!"

"Anehnya?"

"Aku ini jenis burung, tetapi mengapa lain dari Kakang berdua. Aku tak pandai terbang. Maka aku bermimpi sedang bertapa memohon kepada Dewa agar aku bisa pandai terbang. Ah, betapa nikmatnya bisa terbang setinggi Kakang Engkuk, mampu bertengger di pucuk cemara laut atau pucuk Rasamala. Betapa indahnya bila betah terbang seperti Kakang Patuk, mampu memandang keindahan dunia dari ketinggian, menyeberangi lautan nganglang buwana, Kakang...!

"Dalam mimpi Adi Gemak, apa yang didapat dari bertapamu itu?"

"Kakang Engkuk, aku mendapat ijin Dewa tidak hanya diberi janji dapat pandai terbang, bahkan seandainya aku memohon dijadikan manusia pun akan dikabulkan, 'Eee, Gemak, jangankan hanya ingin pandai terbang, menjadi manusiapun Ingsun ijinkan. Tetapi tenangkan dulu hatimu. Pikirkanlah masak-masak dan jernih. Bila memang telah mantap keinginanmu itu, tentu Ingsun mengabulkannya', begitu Kakang janji Dewa dalam impianku semalam."

"Waah, itu mimpi atau benar-benar wujud hasrat Adi Gemak, ya Kakang Engkuk? Terus seandainya impian itu kenyataan, Adi Gemak menjadi manusia, Adi kepingin jadi manusia yang bagaimana Adi?"

"Iya Adi Gemak, Si Adi kepingin jadi apa? Ah, seandainya yang bermimpi itu aku, maka aku akan melanjutkan kepada Dewa memohon agar sekalian dijadikan Raja yang Adil Paramarta. Raja yang mengadili yang salah, melindungi yang lemah, menyuluh yang bodoh, meratakan yang kasar, mengimbangkan yang 'geseh' dan menerangi yang gelap. Aku akan mengajarkan kepada seluruh rakyat kerajaanku akan artinya burung Patuk Bawang yang sebenarnya tidak berkhasiat apa-apa. Sehingga jenis Patuk Bawang ini tidak semakin punah. Kalau Adi Engkuk bagaimana?"

"Lho, kok tanyanya ke saya. Mestinya tanya langsung Adi Gemak yang memang bermimpi. Adi Gemak, bagaimana?"

"Itulah Kakang berdua yang membuatku kebingungan sepanjang pagi. Ragu-ragu bahwa impianku semalam memang berupa ilham. Akankah aku ini tetap bertahan pada keinginan semula yang hanya pandai terbang, atau sekalian memohon diubah menjadi manusia? Seandainya begitu, apakah aku sanggup? Atau aku ingin lagi yang lebih tinggi? Apakah berlangsung dengan baik, sedang selama hidup sejak menetas hingga sekarang "jatah" saya ini hanyalah seekor burung Gemak."

"Hahahaha... Kakang Patuk, Adi Gemak, seandainya aku yang bermimpi dan mendapat janji begitu dari Dewa, aku justru akan menyadarkan diri. Aku akan tetap kembali memohon kepada Dewa agar dibebaskan dari impian-impian yang begitu. Aku akan memohon agar tetap sebagai Engkuk. Ya, Engkuk yang memang sesuai dengan tata-lahir dan tata-batinku dicipta sebagai makhluk. Bila aku menjadi manusia, akankah aku mampu melaksanakan darma kehidupanku seperti ketika aku sebagai Engkuk? Apakah aku mampu menjaga seluruh janji-janji dan kodrat kehidupanku sebagai Engkuk? Atau justru aku menjadi serba ragu dan bingung seperti Orang Tinggi Besar yang termangu-mangu memandangi ombak lautan itu. Tidak ingat akan janji dan kesanggupannya semula. Berjanji dan sanggup, tetapi begitu menemui kenyataan yang ada justru serba ragu... keraguan yang justru akan menjadi sarana bunuh-dirinya seperti sambutan dari Kadang Rijal dan Tadah Asih itu, Adi Gemak....!"

[Tersenyum malu, Sang Bimasena, mendengar kicauan Engkuk yang semakin cepat dan bergema bersahutan dengan lengkingan Rijal, Tadah Asih, kaokan Patuk Bawang dan cekikeran Gemak.... Segera kencangkan ikat pinggang hingga segenggam. Mengatur pikiran dan perasaan. Penuh ikhlas mencebur lautan dengan menjejak bumi. Melepas semua ikatan duniawinya. Mengesankan Bumi menjadi amblas sebelah....!]

Pagelaran, 13 April 2001

Ki Denggleng Pagelaran
------------------------------------------------
sebagai renungan atas peristiwa besar 2000 tahun
yang lalu. salah satu peristiwa penebusan atau ruwat
bumi.

No comments:

Post a Comment