Monday, January 10, 2011

Sang Marbudèng Rat #1

[Dalam sadar tak sadar, Wrekudara yang dibelit naga Kyai Nabatmawa di tengah samudera, berusaha memindah gigitan naga di paha ke lehernya. Maksud hati, agar segera Wrekudara mengalami “mati”. Namun, karena kuatnya gigitan dan kuatnya tenaga membuka mulut naga, akhirnya robek mulut Kyai Nabatmawa. Sang naga lenyap dari pandangan, lautan menjadi memerah oleh darahnya. Wrekudara terombang-ambing pingsan. Hingga terdampar di pulau kecil yang sangat indah menawan. Penuh pohon buah-buahan yang terwujud karena cahaya…Wrekudara sangat kagum ketika siuman. Melihat suasana indah terang benderang, tetapi masih kalah cerah dibanding cahaya yang mengiringi “bocah bajang” (manusia kerdil tetapi proporsional, yang wujudnya menyerupai diri Sang Wrekudara sendiri) yang tegas tapi ramah… teduh dan penuh keagungan]

“Hmm… aku heran setelah hampir mati dibelit naga, naga hilang dan aku terdampar di pulau kecil. Aku merasa telah mati, atau mimpi… tetapi nyatanya aku masih hidup menginjak bumi… Pulau kecil yang serba indah terwujud karena cahaya terang benderang, namun masih kalah benderang dibanding cahaya pengiring “bocah bajang”. Heh, “bocah bajang” siapakah engkau yang sendirian main di sini, siapa yang mengantarkanmu kesini. Serta mengapa kamu tak takut dengan hewan-hewan buas lautan...?”

“Wrekudara… Wrekudara… Engkau jangan mudah memutuskan diri untuk pergi sebelum tahu benar tempat mana yang akan kau jadikan ‘jujugan’. Engkau jangan menggampangkan diri makan sesuatu, jika belum tahu benar rasa dan daya guna makanan itu. Engkau jangan pula asal berpakaian, jika belum tahu benar cara dan budaya berpakaian sesuai dengan keadabanmu. Ibaratnya, jaman dahulu ada orang kampung lereng gunung ke kota langsung mendatangi “kemasan” (toko emas) ingin membeli emas. Hanya diberi sesobek kertas kuning yang ‘diakukan’ sebagai emas… Si orang kampung pulang membawa kertas kuning yang dianggapnya emas logam mulia. Maka biasakanlah engkau merenung, gunakan pengertian-pengertian alam sekitarmu serta tetapkanlah hatimu dalam bersembah… Ketahuilah Wrekudara, aku ini dewa kebahagiaan, sapaanku Batara Dewa Ruci ya Sang Marbudèng Rat…

[Bersegera Wrekudara melakukan sembah… dan baru kali itulah Wrekudara bersembah kepada sesuatu… selain pada keberadaan dirinya sendiri….]

“Duh, Pukulun… terimalah sembah hamba titah pujangkara Wrekudara…Pukulun Marbudèng Rat…”

“Ya, Wrekudara… Sembahmu aku terima. Puja-pujiku demi kebahagiaanmu terimalah, Wrekudara… Mari, enakkanlah dirimu duduk mendengarkan apa-apa wedaranku… Wrekudara, apa sebabnya engkau rela meninggalkan kemuliaan hidup di kerajaan, memilih mencebur laut hingga terdampar di kahiyanganku ini.. Sebab di sini bukan tempat kemuliaan, di sini bukan papan kekayaan, di sini sepi dari kenikmatan. Yang ada hanya banyak keadaan yang sesungguhnya bukan ‘piranti’ kehidupan manusia. Apakah bukan kecelik engkau sampai di sini, Wrekudara?”

“Pukulun, begini beratnya usaha memenuhi permintaan Guru sebagai syarat bagi hamba menerima wedaran ilmu ‘Sampurnaning Dumadi’. Maka sungguh kebetulan hamba bertemu Paduka, Pukulun. Mohon kiranya Paduka memberitahu di mana adanya ‘Tirta Pawitra Mahening Suci’ untuk hamba persembahkan kepada Guru Dorna, Pukulun….”

“’Dara, memang engkaulah yang harus menerima wedaran Ku tentang segala hal terkait dengan apa yang engkau cari. Pertama, tentang keinginanmu menguasai ilmu ‘Sampurnaning Dumadi’ itu apa benar? Sampurnaning Dumadi itu menjadi ciptaan yang sempurna. Sempurna itu tidak memerlukan segala hal yang tergelar di jagad. Jadi meskipun ada manusia mumpuni dalam segala hal, menguasai segala ilmu, jika ditelusuri secara mendalam, manusia itu pasti ada yang mengecewakan. Pasti ada cacatnya. Yang sempurna itu tak lain ya yang menciptakan kesempurnaan jagad raya ini. Dialah yang berwenang disebut SEMPURNA….

Kedua, tentang syarat dari gurumu ‘Tirta Pawitra Mahening Suci’, di sini bukan tempatnya. Tetapi pengertian ‘sanepa’ yang diberikan gurumu itulah yang harus engkau ketahui. Tirta itu air. Uraiannya adalah kehidupan. Dimana ada air di situ ada kehidupan. Bukan air yang dipentingkan tetapi daya guna air untuk kehidupan yang dimaksudkan. Bukan hanya untuk kehidupan manusia, seluruh ciptaan hidup pasti perlu air. Pawitra itu bening. Bening itu jelas tidak menutupi. Jujur tanpa kemunafikan. Tulus tanpa pamrih… melakukan tanpa melawan. Melayani tanpa memanjakan… itulah jalan alam. Mahening, dari kata maha dan ening. Itu merupakan keadaan ketenteraman. Tenteram lahir dan batin. Tenteram dalam rasa dan cipta, tenteram dalam daya dan karsa. Suci itu bebas dari dosa. Kesemuanya mewujudkan hidup langgeng, tenteram dan bebas dari kesalahan… itulah jalan kebijaksanaan… Kesemuanya itu adalah ‘kawruh kasampurnaning urip’.

Namun, kesemua yang kujelaskan tadi sejak permulaan jagad hingga sekarang, belum pernah disandang oleh segala macam ciptaan. Hidup langgeng, tenteram, bebas kesalahan itu hingga kini hanya tinggal menjadi gagasan dan cita-cita. Ciptaan, utamanya manusia, hanya bisa mendekatinya atau menujunya untuk kembali kepada Sang Pencipta Segala Jagad. Nah, untuk lebih jelasnya, engkau harus menyaksikan jagad langgeng… melongok jagad pati….”

“Pukulun, sekalian jika begitu. Di mana hamba dapat menyaksikan jagad pati itu?”

“Wrekudara, jagad itu tidak bisa engkau saksikan dengan mata, melainkan dengan penglihatan. Tidak dapat engkau dengar dengan telinga, melainkan dengan pendengaran. Tak dapat engkau gambarkan dengan pikiran dan akal, tetapi dengan sanubarimu… Untuk itu, saksikanlah jagad pati dalam diriku, masuklah ke dalam tubuhku… lewat telingaku yang kiri…!”

“Aduh Pukulun… Apa mungkin itu terjadi. Hamba bersifat wadag tinggi besar, sedang Paduka bersifat ‘bajang’. Jangankan tubuh hamba seutuhnya, kelingking hamba pun tak akan cukup masuk ke telinga Paduka…”

“Heh, Wrekudara… Besar mana dirimu dibanding jagad. Jagad seisinya, hutan, gunung serta samuderanya tidak kepenuhan masuk ke dalam tubuhku. Maka bersiaplah enkau. Heningkan cipta-rasa-karsamu, segeralah masuk ke tubuhku….!”

[Wrekudara bersemadi, mengheningkan cipta menenangkan pikiran. Maka masuklah dia ke tubuh Sang Marbudèng Rat. Betapa dia kagum. Wrekudara masuk ke suatu keadaan yang serba benderang. Dia ada di tempat maha luas tanpa batas. Terang benderang bukan karena surya. Terang benderang tanpa bayangan. Dia tak tahu lagi arah. Tiada lagi mata angin, tiada lagi atas-bawah. Bahkan dia tak mampu melihat dan merasakan dirinya sendiri. Meskipun dia masih dapat mendengar, dapat melihat, dapat berpikir dan dapat merasakan serta berbicara mengungkapkannya… itulah pintu masuk ke jagad yang maha luas, jagad langgeng….]

No comments:

Post a Comment