Jagad Gumelar |
Budaya pertanian beririgasi (persawahan) merupakan budaya bercocok tanam yang membutuhkan persyaratan kesuburan tanah dan ketersediaan air yang melimpah. Kondisi alam pulau Jawa yang vulkanis subur dan tropis bercurah hujan tinggi memenuhi persyaratan itu. Demikian pula ‘plasma nutfah’ berupa tanaman padi-padian tersedia berjenis-jenis hingga diberi nama ‘nusa java’ yang bermakna ‘pulau padi-padian’. Maka merupakan karya ‘cipta rasa karsa’ Jawa sendiri menemukan sistim bercocok tanam padi beririgasi tersebut. Kenyataan yang diketemukan di pulau-pulau lain tetangga Jawa, sistim bercocok tanam padi kebanyakan dengan sistim perladangan.
Bercocok tanam padi dengan irigasi memang tidak hanya ada di Jawa, di tempat lain juga diketemukan hal yang serupa, misalnya di lembah Sungai Nil, India Selatan, Cina Selatan, dan Lembah Mekong. Namun, tempat-tempat tersebut berbeda kondisi alamnya dengan Jawa yang bergunung-gunung. Dengan demikian ada perbedaan dalam hal pengairan atau irigasinya. Persawahan di Jawa dibuat dengan memanfaatkan sumber air yang terbentuk secara alam oleh keberadaan gunung-gunung berapi.
Budaya pertanian beririgasi merupakan budaya manusia Jawa yang dalam kegiatan hidupnya tidak bisa dilakukan orang per orang (secara individu), tetapi butuh kerjasama banyak orang. Dengan demikian, peradaban ini menghasilkan naluri alamiah manusia Jawa untuk membangun ‘kerjasama’ antar sesama. Kerjasama dalam mengelola kebutuhan pokok manusia berupa pangan tersebut melahirkan suatu ‘kesepakatan’ membuat aturan-aturan bersama yang bermuara kepada pranata sosial berciri ‘gotongroyong’. Pranata sosial gotongroyong merupakan salah satu dasar peradaban Jawa.
Organisasi pranata sosial dan pemerintahan di Jawa pada awalnya berupa kabuyutan-kabuyutan yang masing-masing merupakan daerah perdikan (otonom). Namun demikian, kedaulatan masing-masing ’terhubungkan’ oleh suatu ’pandangan hidup’ yang sama, panunggalan. Hubungan panunggalan itu berupa ’hubungan sosial ekonomi’ yang mengedepankan kesejahteraan bersama. Jejaknya berupa: penggiliran hari pasaran (Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage) untuk masing-masing kabuyutan, pengaturan irigasi pertanian, dan berbagai laku budaya spirituil yang berhubungan dengan bencana alam. [Ki Sondong Mandali]
No comments:
Post a Comment