Friday, January 14, 2011

Inulus miracculus...

Tulisan lawas: Cerita Pendek
Kalathida Reformasi “Inulus Miracculus”
Oleh: Jiwo Winenang

Perkenalkan, nama saya Jiwo Winenang. Namun karena teman-teman sering memanggil dengan “Win” bukannya Jiwo atau Nanang, jadi keterusan dalam menulis panggilan saya itu mereka memlesetkan dengan ejaan Soewandi, menadi “Oein”. Saya adalah seorang abdi atau panakawan dari Ki Denggleng Pagelaran yang sebenarnya bernama Ragil Pamungkas. Sebenarnya saya – bersama dengan paman jauh saya yang bernama Soeloyo – bukanlah sekedar panakawan, karena sejak kecil Den Ragil, demikian kami memanggil Ki Denggleng Pagelaran, kami berdualah yang lebih banyak mengasuh atau momong, karena kesibukan orang tua Den Ragil yang full-time sebagai guru Sekolah Dasar (SD).

Dalam rangka ngalap nasib baik juragan, kami sempat ikut ke Jepang selama 4.5 tahun, ketika Den Ragil mendapat tugas belajar program doktor di Okayama Daigaku, Jepang dari perguruan tinggi tempat beliau berprofesi sebagai dosen. Tak terasa bahwa kepulangan Den Ragil, yang tentu saja kami berdua ikut, sudah hampir 3 tahun. Mengapa kami bisa ikut?

Karena memang hubungan kami berdua dengan Den Ragil sangat erat. Paman saya, Soeloyo, terkenal sebagai orang tua urakan yang selalu mengambil cara berpikir oposisi terhadap momongannya sendiri. Sementara saya sendiri, sering dituduh oleh Lek Soel, demikian saya memanggil Paman Soeloyo, sebagai panakawan paling ngeyel.

Begitu eratnya hubungan kami bertiga – dua panakawan dan seorang juragan – Den Ragil pernah menyatakan bahwa beliau tidak dapat eksis dan berpikir lengkap, tanpa kehadiran Lek Oein dan Mbah Soel. Kami dianggapnya sebagai sumber referensi selain panakawan, bukan sekedar pembantu. Walah, saya dan Lek Soel, karena tidak begitu faham dengan ungkapan panakawan, eksis dan pembantu, yang dapat kami perbuat hanyalah menuruti kehendak beliau. Apa sajalah kehendak juragan, kami turut. Termasuk kebiasaan yang pernah terbangun selama 4.5 tahun ketika di Okayama, yaitu berinternet ria, harus kami tinggalkan sesampainya di negeri tercinta yang sedang memasuki dan menjajagi era reformasi ini. Pasalnya, mana mampu Den Ragil memenuhi biaya pulsa telepon untuk berinternet, dengan kedudukannya yang hanya sebagai dosen muda setengah tua?

Hanya saja kami masih sering tertolong dengan kebijakan Den Ragil untuk tetap dapat mengikuti kegiatan di dunia maya (internet dan e-mail), dengan jalan membaca pesan-pesan (messages) e-mail kolega kami atau sahabat-sahabat Den Ragil di dunia maya. Caranya Den Ragil mengkopi (download) pesan-pesan itu ke dalam disket, kemudian dijadikan oleh-oleh untuk dapat dibaca dengan pesawat komputer rumah tangga yang sering digunakan oleh anak-anak beliau, Gus Gede dan Gus Besar, sehingga hanya dapat kami lakukan ketika kedua anak itu sekolah. Berita-berita koran online otomatis terhenti, diganti dengan edisi cetak yang dilanggan keluarga Den Ragil.

***
Entah mengapa pagi itu, yang kebetulan hari Minggu, setelah selesai membaca berita tentang Inul Daratista yang katanya dimarahi oleh Ketua Umum Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) Rhoma Irama, gara-gara membawakan lagu-lagu ciptaan beliaunya dengan goyang ngebor, bahkan diancam akan diboikot, Lek Soel menyalakan komputer, memasukkan disket yang berisi downloaded-messages, kemudian asyik membukainya satu persatu. Ternyata salah satu message dari teman Den Ragil juga membicarakan berita rencana pemboikotan Inul, The Queen of Go Young Ngebor itu. Kemudian tiba-tiba Lek Soel menghentikan kegiatannya, gara-gara di siaran Berita Pagi suatu TV swasta ditayangkan berita tentang ledakan bom di Bandara Soekarno-Hatta.

Tak lama kemudian Lek Soel kembali memelotori monitor komputer sambil mendendangkan pembukaan Serat Kalatidha gubahan Pujangga Jawa abad XIX, Ki Ranggawarsita, dengan irama dan nada bergaya ‘sulukan’ Ada-ada Sekar Sinom Waosan menirukan dalang kondang favorite-nya, mendiang Ki Nartosabdho. Pantas saja Gus Gede sewot dan menggerutu. Maklum Gus Gede sedang beranjak menjadi ABG, Anak Baru Gede, dan dia berujar, “Mbah apaan sih, nyayian itu, bikin takut saja...!” Lek Soel merasa diganggu oleh celotehan ‘cucu asuh’-nya, balik menghardik, “Lha kowe kuwi ngapa? Anak remaja kok tontonannya hanya film kartun. Ayo, mandi sana!” Dengan begitu pecahlah eker-ekeran pagi hari yang kesekian kalinya antara Lek Soel dan Gus Gede; antara manula dan belia.

Bila sudah begitu, Den Ragil pasti turun tangan, meredakan. “Kenapa to Mbah Soel, kok malah umyeg pagi-pagi, pakai nembang lagi.” Lek Soel, tidak seperti biasanya, malah menyahut sengak, “Den Ragil sih enak. Bisa tidak mempedulikan sekeliling, asyik bekerja jadi ngelmuwan, tak peduli keadaan negara, kondisi bangsa. Lihat saja Den, masak penyanyi hijau kegemaran rakyat kecil sekarang, Inul Daratista, diancam oleh seorang Raja Dangdut? Lihat saja, Inul seolah-olah membawa kemungkaran dan kekejian melebihi pengeboman Bandara. Apa nggak kasihan? Kalau Inul itu kucing sih nggak masalah, no problem, the cat has 9 souls, lha ini manusia je. Penyanyi belia masih polos, dari kampung, melejit cepat saja direm?”

Den Ragil tampak tercenung, kemudian mukanya menjadi merah padam. Jelas menyiratkan kemarahan. “Terus piye, bagaimana? Apa aku harus ikut-ikut pula menayangkan protes kepada Raja Dangdut? Atau usul-usul ke Komnas HAM, ke DPR, ke paguyuban seni, untuk mengajukan pembelaan? Orang ngurusi diri sendiri saja masih cumpen gini.”

Lek Soel, termasuk saya, terkejut bukan kepalang. Tidak menduga bahwa Den Ragil menjadi demikian marah hanya gara-gara perbandingan Inul dan bom. Lha gimana lagi, orang selama ini kami merasa eksis dan dihargai oleh seseorang yang pantas mendapat penghargaan, juga dari Den Ragil. Bahkan beliau mengajak juga kami berdua untuk sama-sama hidup di negeri orang 3 tahun yang lalu.

Untungnya Lek Soel segera mencairkan ketegangan dalam urusan Inul-bom itu dengan, “Sebentar Den Ragil. Sebelum Panjenengan tambah muntab, mbok kami ini diterangkan apa sih arti seikat tembang yang cuma saya hafal itu? Siapa tahu dari makna tembang itu ada pengertian yang pantas dijerap sanubari, agar kami lebih tenang dan tenteram menghadapi keadaan yang semakin carut-marut ini. Belum lagi tahun depan ada Pemilu, kan Den? Nah tentunya banyak lagi yang jualan kecap.” Saya ikut-ikut nimbrung, “Iya… iya Den, betul kata-kata Lek Soel itu. Saya juga nggak paham sama sekali untaian tembangnya Lek Soel tadi….”

“Waaa, lha gimana ini? Kan generasiku ini generasi Orde Baru, generasi ORBA yang dalam Sistem Dikdasmennya, bahasa Daerah hanya dijadikan sebagai muatan lokal, boleh ada boleh pilih yang lain, termasuk bahasa Inggris, mana peduli dengan tembang-menembang begitu? Sebaliknya Mbah Soel dan Lek Oein ini kan generasi sebelum Repoeblik, kok nggak paham tentang Serat Kalatidha itu gimana?” Sergah Den Ragil yang kelihatan sewot. Kejengkelan terlihat nyata, merasa dipersalahkan Lek Soel akan perhatiannya terhadap dunia nyata kehidupan. Perhatian yang terlihat sangat kurang dibanding dengan ketekunannya menggeluti profesi sebagai dosen PT-BHMN.

Dasar, sesuai dengan namanya yang Soeloyo, Lek Soel tetap mencari akal dan akhirnya menemukan juga jalan agar Den Ragil berkenan ‘ngudar kawruh’, memberikan kuliah, menjelaskan makna tembang pembukaan Serat Kalatidha. “Lho, ya lain Den, saya dan Gus ‘Ngeyel’ Oein ini kan tergolong keturunan orang biasa, orang awam. Jadi ya belum pernah makan Pojok Sekolahan. Giliran Den Ragil, kan Eyangnya saja Guru Sekolah Ongko Loro, Bapak Den Ragil Mantri Guru Sekolah Daripada Rakyat, apa nggak hebat? Apalagi menurut cerita tetangga-tetangga sepuh, Den Ragil itu ada keterkaitan darah keturunan lho dengan Ki Ranggawarsita itu, makanya Mbah nggak heran kalau Den Ragil sempat diluluskan sebagai ngensinyur taneman itu, apalagi malah akhirnya jadi ndoktor nganggur… dari Jepun…. heheheee… Ayolah, Den, kami siap manglungaken jangga, nilingaken karna, menjulurkan leher, membuka telinga… untuk menerima sabda Juragan… hehehee….” Den Ragil, merasa dirunut-runut darah keturunannya, merasa malu kelihatannya. Akhirnya mengalah, wajahnya kembali cair. Senyumnya yang terkenal mahal, terlihat menyungging… mak celereeeet….

“Ya sudah…aku coba menterjemahkan, tapi Mbah Soel harus mengulanginya sebait demi sebait dulu, soalnya bahasa yang digunakan sudah jarang dipakai, apalagi di tanah Pakuan sini. Ayo, mulai…!” Mbah Soeloyo segera tanggap dan dengan berbinar-binar kembali melantunkan tembang Sinom Waosan pembukaan Serat Kalatidha bergaya Nartosabdhoan sebait demi sebait. Saya sibuk mencatat.
“Mangkya darajating praja.”
“Kedudukan negara kini”
“Kawuryan wus unya luri”
“Kemasyuran telah hilang, sulit dicari, maksudnya dikembalikan lagi.”
“Rurah pangreh ing ukara.”
“Kacau-balau segala urusan, artinya urusan pemerintahan hingga perekonomian dan keamanan, termasuk masalah musik dangdut… hehehee, kasihan Inul, Mbah!”
“Karana tanpa palupi.”
“Karena tiadanya suri tauladan, yang baik dan benar.”
“Atilar silastuti, sujana sarjana kelu. Kalulun kala tidha!”
“Lho, kok sekaligus 3 bait, dikeraskan lagi. Weeeh, ngetes ini, artinya, dengan meninggalkan etika dan moral atau norma, tokoh masyarakat, kaum elite, bangsawan modern, executive, dan ilmuwan malah ikut larut ke dalam gejolak masa yang mengkhawatirkan, hee…ilmuwan? Ah, Ki Ranggawarsita memang waskitha… cerdik dan kaya wawasan… hmmm,” terlihat wajah Den Ragil menjadi muram, sementara Lek Soel malah tertawa cekikikan, lucu pokoknya. Kemudian dua bait terakhir tembang itu dia kebut sekaligus dengan irama yang aneh, setengah tertawa.

“Tidhem tandhaning dumadi; Hardayeng Rat, dening karoban rubeda…”
“Semua tanda-tanda kehidupan menjadi mandeg, sementara dunia gonjang-ganjing, karena semakin dilanda kekacauan, lho kok, malah tertawa, Mbah? Ngejek ya?”
“Ampuuun, juragan… ampuuuun… penjelasan Den Ragil persis dengan yang hamba terima dari Bapak Den Ragiiiiiil… Hahahahaaaa… kena juga, dan sama, waktu sampai sarjana. Dulu Bapak Den Ragil juga berkomentar begitu… hmmm, kacang mangsa ninggala lanjaran, ya Leeee ya Leeeee…? Maksudnya ciri khas keluarga masa tidak diwarisi oleh keturunannya,” kata Lek Soel yang sebagian dilagukan seperti tembang Kalatidha itu sendiri.

“Ooooo, asem kecut ki! Tiwas serius, nggak tahunya dikerjain aku ini tadi… awas kau ya!”
Tiba-tiba Lek Soel menghentikan tawanya. Wajahnya berubah merah padam, kemudian menangis, kemudian merah padam lagi. Selanjutnya berujar dengan tegas dan jelas menggetarkan, “Mengapa mereka para sarjana-sujana di Indonesia, nyata terlihat mementingkan diri, kelompok sendiri. Ada lagi seorang yang mengaku seniman, justru memasung kebersenian rekan sendiri. Apakah tulisan Ki Ranggawarsita abad XIX yang lalu itu, kini terjadi dan jauh lebih parah? Iya Den? Iya Le, Oein?”

Saya dan Den Ragil hanya mampu bengong tidak mampu memberi tanggapan apapun terhadap pertanyaan Lek Soeloyo.

Tiba-tiba Den Ragil nggremeng alias ngedumel..."Mbah, belum lagi para bangsawan modern di Senayan sana. Sibuk dan kukuh menghendaki adanya UU Sisdiknas baru, yang RUU-nya masih mengandung pro-kontra.... gimana ya Mbah? Apa kini sudah pada hilang para ahli para sarjana-sujana yang mumpuni masalah pendidikan? Pendidikan kok dipolitikkan. Dikerah-kerahkan massa yang tak bersangkut paut dengan pendidikan. Malah MUI ikut-ikutan, padahal MUI kan pernah dijuluki Majelis Urusan Inul.... ah Inul memang miraccle.... Inulus Miracculus..."

Gantian, Lek Soel yang ndomblong.... termasuk saya.


Bogor, 10 Juni 2003: Setelah mengikuti berita demo untuk RUU Sisdiknas...!!!



No comments:

Post a Comment